BAB 1
PENDAHULUAN
A.1. Latar Belakang
Dilihat dari segi agama dan budaya dalam masyarakat
kita, masing-masing memiliki hubungan erat antara satu sama lainnya, dan bahkan
sering juga banyak disalah artikan oleh orang-orang yang belum memehami bagai
mana menempatkan posisi agama dan posisi berbudaya pada suatu kehidupan. Saat
ini kita masih sering menyaksikan adanya segelintir masyarakat yang mencampur
adukkan nilai-nilai agama dengan nilai-nilai budaya yang hendaknya mampu menempakan
diri dalam bermasyarakat yang beragama. Dalam hal ini kelompok kami hendak mengulas
mengenai bagai mana hidup beragama dalam bermasyarakat yang akan kami susun dalam
bentuk makalah dengan judul “Agama dan Masyarakat”.
A.2. Tujuan
Tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk memenuhi tanggung
jawab sebagai mahasiswa Psikologi Gunadarma angkatan 2012 Kelas 1 PA04, dalam mata
kuliah Agama Islam.
BAB II
A.
Pengertian Agama dan Masyarakat
Masyarakat adalah sistem sosial yang menghasilkan kebudayaan
(SoerjonoSoekanto, 1983).Sedangkan agama menurut Kamus Besar Bahasa Indinesia
adalah sistem atau prinsip kepercayaan kepada Tuhan, atau juga disebut dengan nama
Dewa atau nama lainnya dengan ajaran kebaktian dan kewajiban - kewajiban yang berkaitan dengan kepercayaan
tersebut. Sedangkan agama di Indonesia
memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat. Hal ini dinyatakan dalam
ideology bangsa Indonesia, yaitu Pancasila: “KetuhananYang MahaEsa”. Sejumlah agama di Indonesia berpengaruh secara kolektif terhadap politik,
ekonomi, dan budaya. Di tahun 2000, kira-kira 86,1% dar i 240.271.522 penduduk Indonesia adalah pemeluk
agama Islam, 5,7% Protestan, 3% Katolik,
1,8% Hindu, dan 3,4% kepercayaan lainnya.
Dalam UUD 1945 dinyatakan bahwa “tiap
– tiap penduduk diberikan kebebasan untuk memilih dan mempraktikkan kepercayaannya”
dan “menjamin masyarakatnya menyembah , menurut agama atau kepercayaannya
masing-masing”. Pemerintah, bagaimanapun secara resmi hanya mengakui enam Agama
yakni Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha dan Konghucu.
Dengan banyaknya agama maupun aliran dan kepercayaan
yang ada di Indonesia, konflik antar agama sering kali tidak terelakkan.Lebih dari
itu, kepemimpinan politis Indonesia memainkan peranan penting dalam hubungan antar
kelompok maupun golongan. Program trasmigrasi secara tidak langsung telah menyebab
kan sejumlah konflik di wilayah timur Indonesia.
Berdasarkan sejarah, kaum pendatang telah menjadi pendorong
utama dalam keaneka ragaman agama dan kultur
di dalam negri dengan pendatang dari berbagai Negara seperti India, Tiongkok,
Portugal , Arab, Belanda dan negara-negara lainya yang secara tidak
langsung telah membawa perubahan-perubahan kultur di Indonesia.
Berdasarkan penjelasan diatas penetapan Presiden No.1
Tahun 1965 Tentang pencegahan penyalah gunaan dan/atau Pedoman Agama pasal 1,”Agama –agama yang
dipeluk oleh penduduk di Indonesia ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan
Khong Hu Cu (Confusius)”.
-
Islam :
Indonesia merupakan Negara dengan penduduk
Muslim terbanyak di dunia, dengan 88% dari jumlah penduduk adalah penganut ajaran
Islam. Mayoritas muslim dapat dijumpai di wilayah barat Indonesia seperti di
Jawa dan Sumatra. Masuknya agama Islam ke Indonesia melalui perdagangan.
-
Kristen Katolik :
Agama
Katolik untuk pertamakalinya masuk ke Indonesia pada bagian pertama abad ketujuh
di Sumatra Utara. Dan pada abad ke-14 dan ke-15 telah ada umat Katolik di Sumatra
Selatan. Kristen Katolik tiba di
Indonesia saat kedatangan bangsa Portugis, yang kemudian di ikutib bangsa Spanyol
yang berdagang rempah - rempah.
-
Kristen Protestan
:
Kristen
Protestan berkembang di Indonesia selama masa colonial Belanda (VOC), pada sekitar
abad ke-16. Kebijakan VOC yang mengutuk paham Katolik dengan sukses berhasil meningkatkan
jumlah penganut paham Protestan di Indonesia.
Agama ini berkembang sangat pesat di abad ke-20, yang
ditandaiolehkedatanganparamisionarisdariEropakebeberapawilayah di Indonesia, seperti
di wilayahbarat Papua danlebihsedikitdi kepulauanSunda.
Hindu :
Agama
Hindu tiba di Indonesia pada abad pertama
Masehi, bersamaan waktunya dengan kedatangan agama Budha, yang kemudian menghasilkan
sejumlah kerajaan - kerajaan Hindu - Budha
seperti Kutai, Mataram dan Majapahit.
-
Budha :
Budha merupakan agama tertua kedua di
Indonesia, tiba pada abad keenam masehi.
Sejarah Budha di Indonesia berhubungan erat
dengan sejarah Hindu.
-
Konghucu
:
Agama Konghucu
berasal dari Cina daratan dan dibawa oleh pedagan Tionghoa dan imigran.
Diperkirakan pada abad ketiga Masehi, orang Tionghoa tiba dikepulauan
Nusantara. Berbeda dengan agama yang lain, Konghucu lebih menitik beratkan pada
kepercayaan dan praktik yang individual.
B. Fungsi-Fungsi Agama
Seasungguhnya hakekat dari hubungan
antara manusia dengan agama terbangun secara fitriah. Hal ini, terutama
ditandai oleh beberapa kenyataan yang memperlihatkan besarnya porsi kebutuhan
manusia untuk melengkapi dirinya dengan agama.
Agama dibutuhkan manusia sebagai
tuntunan bagi dirinya kepada sang pencipta maupun dalam rangka menjalin
hubungan yang harmonis, terhadap lingkungan dan sesama mahluk. Semua ini di
butuhkan oleh manusia dalam rangka memperoleh keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan.
Dalam alam semesta yang luas ini,
posisi manusia sesungguhnya tak lebih dari mahluk yang hidup dalam kosmos besar
yang telah memiliki hukum tersendiri. Disana ada gejala alam yang tidak
seluruhnya bisa dipahami oleh manusia. Selain itu juga ada misteri kehidupan
yang berjalan di luar kekuasaan manusia, seperti adanya kematian yang di luar
kemampuan manusia untuk mencegahnya.
Dalam agama memuat berbagai hal
yang harus dilakukan oleh manusia dan tentang hal-hal yang harus dihindarkan.
Kepatuhan pada ajaran agama ini akan menghasilkan kondisi ideal.
Mengapa ada yang Takut pada Agama?
Mereka yang sekuler berusaha untuk
memisahkan agama dari kehidupan sehari-hari. Mereka yang marxis sama sekali
melarang agama. Mengapa mereka melakukan hal-hal tersebut? Kemungkinan besarnya
adalah karena kebanyakan dari mereka sama sekali kehilangan petunjuk tentang
tuntunan apa yang datang dari Tuhan. Entah mereka dibutakan oleh minimnya
informasi yang mereka dapatkan, atau mereka memang menutup diri dari segala hal
yang berhubungan dengan Tuhan.
Alasan yang seringkali mereka
kemukakan adalah agama memicu perbedaan. Perbedaan tersebut menimbulkan
konflik. Mereka memiliki orientasi yang terlalu besar pada pemenuhan kebutuhan
untuk bersenang-senang, sehingga mereka tidak mau mematuhi ajaran agama yang
melarang mereka melakukan hal yang menurutnya menghalangi kesenangan mereka,
dan mereka merasionalisasikan perbuatan irasional mereka itu dengan justifikasi
sosial-intelektual. Mereka menganggap segi intelektual ataupun sosial memiliki
nilai keberhargaan yang lebih. Akibatnya, mereka menutup indera penangkap
informasi yang mereka miliki dan hanya mengandalkan intelektualitas yang serba
terbatas.
Mereka memahami dunia dalam batas
rasio saja. Logika yang mereka miliki begitu terbatasnya, hingga abstraksi
realita yang bersifat supra-rasional tidak mereka akui. Dan hasilnya, mereka
terpenjara dalam realitas yang serba empiri. Semua harus terukur dan terhitung.
Walaupun mereka sampai sekarang masih belum memahami banyaknya fungsi alam yang
bekerja dalam mekanisme supra rasional, keterbatasan kerangka berpikir yang
mereka miliki menegasikan semua hal yang tidak dapat ditangkap secara inderawi.
Padahal, pembatasan diri dalam
realita yang hanya bersifat empiri hanya akan membatasi potensi manusia itu
sendiri. Dan hal ini menegasikan tujuan hidup yang selama ini diagungkan para
penganut realita rasio-saja, yaitu aktualisasi diri dan segala potensinya.
Agama, dengan sandaran yang kuat
pada realitas supra rasional, membebaskan manusia untuk mengambil segala hal
yang terbaik yang dapat dihasilkannya dalam hidup. Semua-apakah hal itu
bersifat empiri-terukur, maupun yang belum dapat diukur. Empirisme bukanlah
suatu hal yang ditolak agama. Agama yang benar, yang bersifat universal,
mencakup segi intelektual yang luas, yang diantaranya adalah empirisme. Agama
tidak mereduksi intelektualitas manusia dengan membatasi kuantitas maupun
kualitas suatu ide. Agama yang benar, memberi petunjuk pada manusia tentang
bagaimana potensi manusia dapat dikembangkan dengan sebesar-besarnya. Dan
sejarah telah membuktikan hal tersebut.
Kesalahan yang dibuat para penilai
agama-lah yang kemudian menyebabkan realita ajaran ideal ini menjadi terlihat
buruk. Beberapa peristiwa sejarah yang menonjol mereka identikan sebagai
kesalahan karena agama. Karena keyakinan pada ajaran agama. Padahal, kerusakan
yang ditimbulkan adalah justru karena jauhnya orang dari ajaran agama.
Kerusakan itu timbul saat agama-yang mengajarkan kemuliaan- disalahgunakan oleh
manusia pelaksananya untuk mencapai tujuan yang terlepas dari ajaran agama itu
sendiri, terlepas dari pelaksanaan keseluruhan dimensinya.
C. Pelembagaan Agama
Sebenarnya apa yang dimaksud dengan
agama? Kami mengurapamakan sebagai sebuah telepon. Jika manusia adalah suatu
pesawat telepon, maka agama adalah media perantara seperti kabel telepon untuk
dapat menghubungkan pesawat telepon kita dengan Telkom atau dalam hal ini
Tuhan. Lembaga agama adalah suatu organisasi, yang disahkan oleh pemerintah dan
berjalan menurut keyakinan yang dianut oleh masing-masing agama. Penduduk
Indonesia pada umumnya telah menjadi penganut formal salah satu dari lima agama
resmi yang diakui pemerintah. Lembaga-lembaga keagamaan patut bersyukur atas
kenyataan itu. Namun nampaknya belum bisa berbangga. Perpindahan penganut agama
suku ke salah satu agama resmi itu banyak yang tidak murni.
Sejarah mencatat bahwa tidak jarang
terjadi peralihan sebab terpaksa. Pemaksaan terjadi melalui “perselingkuhan”
antara lembaga agama dengan lembaga kekuasaan. Keduanya mempunyai kepentingan.
Pemerintah butuh ketentraman sedangkan lembaga agama membutuhkan penganut atau
pengikut. Kerjasama (atau lebih tepat disebut saling memanfaatkan) itu terjadi
sejak dahulu kala. Para penyiar agama sering membonceng pada suatu kekuasaan
(kebetulan menjadi penganut agama tersebut) yang mengadakan invansi ke daerah
lain. Penduduk daerah atau negara yang baru ditaklukkan itu dipaksa (suka atau
tidak suka) menjadi penganut agama penguasa baru.
Kasus-kasus itu tidak hanya terjadi
di Indonesia atau Asia dan Afrika pada umumnya tetapi juga terjadi di Eropa
pada saat agama monoteis mulai diperkenalkan. Di Indonesia “tradisi” saling
memanfaatkan berlanjut pada zaman orde Baru.Pemerintah orde baru tidak mengenal
penganut di luar lima agama resmi. Inilah pemaksaan tahap kedua. Penganut di
luar lima agama resmi, termasuk penganut agama suku, terpaksa memilih salah
satu dari lima agama resmi versi pemerintah. Namun ternyata masalah belum
selesai. Kenyataannya banyak orang yang menjadi penganut suatu agama tetapi
hanya sebagai formalitas belaka. Dampak keadaan demikian terhadap kehidupan
keberagaan di Indonesia sangat besar. Para penganut yang formalitas itu, dalam
kehidupan kesehariannya lebih banyak mempraktekkan ajaran agam suku, yang
dianut sebelumnya, daripada agama barunya. Pra rohaniwan agama monoteis,
umumnya mempunyai sikap bersebrangan dengan pra keagamaan demikian. Lagi pula
pengangut agama suku umumnya telah dicap sebagai kekafiran. Berbagai cara telah
dilakukan supaya praktek agama suku ditinggalkan, misalnya pemberlakukan
siasat/disiplin gerejawi. Namun nampaknya tidak terlalu efektif.
Upacara-upacara yang bernuansa agama suku bukannya semakin berkurang tetapi
kelihatannya semakin marak di mana-mana terutama di desa-desa.
Demi pariwisata yang mendatangkan
banyak uang bagi para pelaku pariwisata, maka upacara-upacara adat yang
notabene adalah upacara agama suku mulai dihidupkan di daerah-daerah.
Upacara-upacara agama suku yang selama ini ditekan dan dimarjinalisasikan
tumbuh sangat subur bagaikan tumbuhan yang mendapat siraman air dan pupuk yang
segar. Anehnya sebab bukan hanya orang yang masih tinggal di kampung yang
menyambut angin segar itu dengan antusias tetapi ternyata orang yang lama
tinggal di kotapun menyambutnya dengan semangat membara. Bahkan di kota-kotapun
sering ditemukan praktek hidup yang sebenarnya berakar dalam agama suku.
Misalnya pemilihan hari-hari tertentu yang diklaim sebagai hari baik untuk
melaksanakan suatu upacara. Hal ini semakin menarik sebab mereka itu pada
umumnya merupakan pemeluk yang “ fanatik” dari salah satu agama monoteis bahkan
pejabat atau pimpinan agama.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kaitan agama dengan masyarakat
banyak dibuktikan oleh pengetahuan agama yang meliputi penulisan sejarah dan
figur nabi dalam mengubah kehidupan sosial, argumentasi rasional tentang arti
dan hakikat kehidupan, tentang Tuhan dan kesadaran akan maut menimbulkan
relegi, dan sila Ketuhanan Yang Maha Esa sampai pada pengalaman agamanya para
tasauf.
Bukti di atas sampai pada pendapat
bahwa agama merupakan tempat mencari makna hidup yang final dan ultimate.
Kemudian, pada urutannya agama yang diyakininya merupakan sumber motivasi
tindakan individu dalam hubungan sosialnya, dan kembali kepada konsep hubungan
agama dengan masyarakat, di mana pengalaman keagamaan akan terefleksikan pada
tindakan sosial, dan individu dengan masyarakat seharusnyalah tidak bersifat
antagonis.
B.
Saran
Dengan dibuat nya makalah ini kami
mengharapkan kepada pembaca agar bisa memahami dan dapat
menerangkan hubungan antara agama dan masyarakat.
Daftar pustaka :
Eksistensi
manusia dan agama oleh. H. Moch. Basofi Soedirman.
htpp://.wordpress.com
htpp://dimasmarham.blongspot.com
htpp//yonocuex.blongspot.com
htpp//bonyrochester.blongspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar