Senin, 27 Oktober 2014

KETIDAK PUASAN DALAM BEKERJA



Demo Buruh Kalbar Berkutat soal PHK, Cabut Pernyataan
Ketua Kadin Kalbar

Hari Buruh sedunia diperingati para buruh yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI) Kalbar dengan unjuk rasa santun dan tertib di gedung DPRD Kalbar, Selasa (1/5). Seratusan buruh yang mengusung puluhan bendera dan spanduk serta pamflet berisikan tuntutan serta desakan terhadap Pemprov dan DPRD Kalbar tentang perbaikan nasib mereka. Sementara Ketua Kadinda Kalbar, pengusaha Budiono Tan, dan beberapa perusahaan dikecam para buruh.
Salah satu tuntutan massa buruh ditujukan kepada Ketua Kadin Kalbar agar mencabut pernyataannya tentang pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap ribuan buruh-buruh pertambangan, terkait jika diberlakukannya Peraturan Menteri ESDM No 07/2012. Tidak jelas bagaimana bentuk tuntutan serta pernyataan para buruh anggota KSBSI tersebut, namun mereka ingin kejelasan bagaimana soal PHK para buruh pertambangan di Kalbar.
Sejauh ini belum tersiar kabar adanya perusahaan yang membredel atau membubarkan serikat pekerja. Namun para demonstran meminta pembredelan terhadap serikat buruh dihentikan. Terkait hal tersebut, KSBSI Kalbar mendesak adanya peraturan daerah (perda) tentang ketenagakerjaan di provinsi ini.
PHK buruh
Sementara itu problem yang paling sering dihadapi buruh industri adalah PHK tanpa pesangon akibat perusahaan mengabaikan kewajibannya. Karena itu KSBSI Kalbar mendesak penuntasan kasus-kasus PHK dan ketenagakerjaan yang masih menggantung, seperti dilakukan Benua Indah Group dan Wana Bhakti Agung.
Aksi para buruh di gedung dewan itu disambut Sekretaris Komisi D DPRD Kalbar Andry Hudaya Wijaya SH MH. Menurutnya, banyak ketidaklogisan dalam masalah perburuhan di provinsi ini. “Misalnya saja di Kabupaten Ketapang, ada pengusaha kaya Budiono Tan yang dihormati penguasa, tetapi masih berutang kepada petani Rp 25 miliar,” ungkap politisi daerah pemilihan Ketapang-KKU ini.
Boediono Tan merupakan pemilik Benua Indah Grup yang masih harus menanggung masalah perburuhan di sektor perkebunan dan industri sawit di Kabupaten Ketapang. Masalah itu baru satu dari sekian banyak problem buruh di Indonesia, khususnya Kalbar. Terkait tuntutan buruh itu, Sekretaris Fraksi Partai Golkar DPRD Kalbar ini mengatakan ada yang perlu ditindaklanjuti. “Ditindaklanjuti sekarang, segera, maupun akan dibicarakan selanjutnya,” ujar Andry.
Dalam waktu dekat, sambung dia, pihaknya akan melakukan rapat kerja dengan instansi terkait seperti Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kalbar. Ini untuk mengkaji mana-mana saja tuntutan buruh yang dapat ditindaklanjuti oleh legislatif maupun eksekutif. “Secara kelembagaan harus kami bicarakan di Komisi D. Saya melihat ada beberapa tuntutan yang harus segera disikapi seperti menuntaskan kasus-kasus PHK yang masih menggantung di PT BIG, PT WBA di Kubu Raya, PT Aqua Sreeam, dan PT MKK. Kami perlu mendapat penjelasan dari Disnakertrans Kalbar sejauh mana penanganannya oleh pemerintah provinsi,” jelas Andry.
Raperda ketenagakerjaan
Dalam hal pembuatan perda tentang ketenagakerjaan sebagaimana tuntutan buruh, Andry masih mempertanyakan materinya kepada Disnakertrans apakah pemerintah provinsi siap untuk menyusun raperdanya. Jika tidak siap, bisa melalui inisiatif DPRD. “Namun saya kira kami di DPRD perlu di-support dengan data-data dan informasi-informasi terkait persoalan ketenagakerjaan untuk dituangkan dalam sebuah raperda. Hanya memang terbentur dengan program Legislasi Daerah (Prolegda), di mana untuk 2012 sudah ada sejumlah raperda yang kita sepakati untuk dibahas,” terang Andry.
Menyikapi kondisi tersebut, kata dia, DPRD khususnya Komisi D terbuka menerima masukan dari pihak-pihak yang selama ini konsisten pada permasalahan ketenagakerjaan, supaya pada akhir tahun 2012, sudah punya draf raperda ketenagakerjaan untuk dimasukkan ke Program Legislasi Daerah tahun 2013, yang disepakati dengan eksekutif, dalam hal ini gubernur setiap awal tahun.
Menurut Andry, permasalahan yang perlu didalami adalah soal hubungan industrial, permasalahan terkait kebebasan berserikat, terkait pengupahan, dan terkait sanksi yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan. Sehingga keberadaan perda itu nantinya harus mampu meminimalisasi permasalahan yang ada. Terpisah, Direktur Lembaga Pengkajian dan Study Arus Informasi Regional (LPS-AIR) Deman Huri menyarankan agar perda ketenagakerjaan diarahkan untuk menjawab permasalahan sosial yang terjadi. Perda juga harus mampu meminimalisasi dampak negatif atas pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang ada, akibat ketidakjelasan, multitafsir, serta tidak adanya sanksi yang tegas atas pelanggaran dan substansi yang tidak definitif dari UU yang berlaku.
“Pembahasan raperda ketenagakerjaan jangan dilakukan secara gegabah dan tergesa-gesa. Seluruh stakeholder ketenagakerjaan harus dilibatkan secara proporsional dan diberi waktu yang cukup untuk melakukan kajian terhadap pasal-pasalnya,” pungkas Deman. (jul).
ULASAN
Kasus ini mengulas mengenai aksi protes yang dilakukan parah buruh di Kalimantan Barat. Aksi tersebut dilakukan karena mereka ingin mencabut tuntutan Ketua Kadin mengenai pernyataannya tentang pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap ribuan buruh-buruh pertambangan. Selain itu juga, para demosntran menginginkan pembubaran serikat buruh diberhentikan.
Berdasarkan kasus tersebut menunjukkan bahwa para pekerja tersebut (buruh) mengalami stres sehingga mengekspresikannya dalam bentuk demonstrasi seperti itu. Stres itu sendiri merupakan ketidakmampuan mengatasi ancaman yang dihadapi oleh mental, fisik, emosional dan spiritual manusia. Stres juga dapat diartikan sebagai suatu prsepsi terhadap situasi atau kondisi fisik lingkungan sekitar (Palupi 2003).
Penyebab dilakukannya tindakan anarkis tersebut berdampak psikologis, yakni berdasarkan salah satu teori dasar motivasi hierarki kebutuhan oleh Abraham Masslow yakni yang merupakan teori motivasi yang terdiri dari 5 macam kebutuhan diantaranya fisiologis, keamanan, sosial, penghargaan dan aktualisasi diri. (Masslow, 1993). Akibat pemutusan hubungan kerja tersebut, para pekerja tidak dapat memenuhi 5 kebutuhan dasar tersebut, salah satunya kebutuhan fisiologi yakni berupa kebutuhan pangan, sandang dan papan. Dengan diberhentikannya mereka, membuat para pekerja tidak dapat memperoleh uang untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut. Selain itu, juga kebutuhan akan penghargaan juga tidak dapat terpenuhi, karena pekerjaan yang mereka lakukan tidak dihargai dengan diberhentikannya mereka secara sepihak. Kasus ini juga dapat dikaitkan berdasarkan teori Herzberg, yang merupakan teori dua faktor yakni para pekerja dalam melakukan pekerjaannya dipengaruhi oleh dua faktor utama diantaranya adalah faktor pemeliharaan dan faktor motivasi (Umar, 1999). Kasus ini lebih condong ke dalam faktor motivasi, karena para buruh tersebut tidak lagi mendapatkan kebijakan yang baik dari perusahaan melainkan mereka mendapatkan kebijakan yang tidak adil yakni PHK.
Solusi untuk menaggulangi permasalah ini adalah dengan mendengarkan aspirasi dari para pekerja (buruh) mengenai kepuasan kerja mereka. Memperjuangkan hak mereka dan bagi para pejabat agar tidak mementingan kepentingan sendiri, utamakan kepentingan bersama agar segala sesuatunya berjalan lancar dan tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dan tidak ada pihak yang merasa dirugikan. Seperti halnya dalam pengertian motivasi menurut Manullang (2000) yang mendifinisikan bahwasanya motivasi dijadikan sebagai pekerjaan bagi para manajer dalam memberikan inspirasi, dorongan, semangat kepada orang lain dalam hal ini adalah para buruh. Sehingga dengan kerja sama dalam memebrikan dukungan satu sama lain akan terbina persatuan untuk memajukan perusahaan.


Sumber :
Diunduh tanggal 18 juni 2012 jam 06.30 oleh : Syamsul Arifin




Tidak ada komentar:

Posting Komentar