Demo Buruh Kalbar Berkutat soal PHK, Cabut Pernyataan
Ketua Kadin Kalbar
Hari Buruh sedunia diperingati para buruh yang
tergabung dalam Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI) Kalbar
dengan unjuk rasa santun dan tertib di gedung DPRD Kalbar, Selasa (1/5).
Seratusan buruh yang mengusung puluhan bendera dan spanduk serta pamflet
berisikan tuntutan serta desakan terhadap Pemprov dan DPRD Kalbar tentang
perbaikan nasib mereka. Sementara Ketua Kadinda Kalbar, pengusaha Budiono Tan,
dan beberapa perusahaan dikecam para buruh.
Salah satu tuntutan massa buruh ditujukan kepada Ketua
Kadin Kalbar agar mencabut pernyataannya tentang pemutusan hubungan kerja (PHK)
terhadap ribuan buruh-buruh pertambangan, terkait jika diberlakukannya
Peraturan Menteri ESDM No 07/2012. Tidak jelas bagaimana bentuk tuntutan serta
pernyataan para buruh anggota KSBSI tersebut, namun mereka ingin kejelasan
bagaimana soal PHK para buruh pertambangan di Kalbar.
Sejauh ini belum tersiar kabar adanya perusahaan yang
membredel atau membubarkan serikat pekerja. Namun para demonstran meminta
pembredelan terhadap serikat buruh dihentikan. Terkait hal tersebut, KSBSI
Kalbar mendesak adanya peraturan daerah (perda) tentang ketenagakerjaan di
provinsi ini.
PHK buruh
Sementara itu problem yang paling sering dihadapi
buruh industri adalah PHK tanpa pesangon akibat perusahaan mengabaikan
kewajibannya. Karena itu KSBSI Kalbar mendesak penuntasan kasus-kasus PHK dan
ketenagakerjaan yang masih menggantung, seperti dilakukan Benua Indah Group dan
Wana Bhakti Agung.
Aksi para buruh di gedung dewan itu disambut
Sekretaris Komisi D DPRD Kalbar Andry Hudaya Wijaya SH MH. Menurutnya, banyak
ketidaklogisan dalam masalah perburuhan di provinsi ini. “Misalnya saja di
Kabupaten Ketapang, ada pengusaha kaya Budiono Tan yang dihormati penguasa,
tetapi masih berutang kepada petani Rp 25 miliar,” ungkap politisi daerah
pemilihan Ketapang-KKU ini.
Boediono Tan merupakan pemilik Benua Indah Grup yang
masih harus menanggung masalah perburuhan di sektor perkebunan dan industri
sawit di Kabupaten Ketapang. Masalah itu baru satu dari sekian banyak problem
buruh di Indonesia, khususnya Kalbar. Terkait tuntutan buruh itu, Sekretaris
Fraksi Partai Golkar DPRD Kalbar ini mengatakan ada yang perlu ditindaklanjuti.
“Ditindaklanjuti sekarang, segera, maupun akan dibicarakan selanjutnya,” ujar
Andry.
Dalam waktu dekat, sambung dia, pihaknya akan
melakukan rapat kerja dengan instansi terkait seperti Dinas Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Kalbar. Ini untuk mengkaji mana-mana saja tuntutan buruh yang
dapat ditindaklanjuti oleh legislatif maupun eksekutif. “Secara kelembagaan
harus kami bicarakan di Komisi D. Saya melihat ada beberapa tuntutan yang harus
segera disikapi seperti menuntaskan kasus-kasus PHK yang masih menggantung di
PT BIG, PT WBA di Kubu Raya, PT Aqua Sreeam, dan PT MKK. Kami perlu mendapat
penjelasan dari Disnakertrans Kalbar sejauh mana penanganannya oleh pemerintah
provinsi,” jelas Andry.
Raperda ketenagakerjaan
Dalam hal pembuatan perda tentang ketenagakerjaan
sebagaimana tuntutan buruh, Andry masih mempertanyakan materinya kepada
Disnakertrans apakah pemerintah provinsi siap untuk menyusun raperdanya. Jika tidak
siap, bisa melalui inisiatif DPRD. “Namun saya kira kami di DPRD perlu
di-support dengan data-data dan informasi-informasi terkait persoalan
ketenagakerjaan untuk dituangkan dalam sebuah raperda. Hanya memang terbentur
dengan program Legislasi Daerah (Prolegda), di mana untuk 2012 sudah ada
sejumlah raperda yang kita sepakati untuk dibahas,” terang Andry.
Menyikapi kondisi tersebut, kata dia, DPRD khususnya
Komisi D terbuka menerima masukan dari pihak-pihak yang selama ini konsisten
pada permasalahan ketenagakerjaan, supaya pada akhir tahun 2012, sudah punya
draf raperda ketenagakerjaan untuk dimasukkan ke Program Legislasi Daerah tahun
2013, yang disepakati dengan eksekutif, dalam hal ini gubernur setiap awal
tahun.
Menurut Andry, permasalahan yang perlu didalami adalah
soal hubungan industrial, permasalahan terkait kebebasan berserikat, terkait
pengupahan, dan terkait sanksi yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan. Sehingga
keberadaan perda itu nantinya harus mampu meminimalisasi permasalahan yang ada.
Terpisah, Direktur Lembaga Pengkajian dan Study Arus Informasi Regional
(LPS-AIR) Deman Huri menyarankan agar perda ketenagakerjaan diarahkan untuk
menjawab permasalahan sosial yang terjadi. Perda juga harus mampu
meminimalisasi dampak negatif atas pelaksanaan peraturan perundang-undangan
yang ada, akibat ketidakjelasan, multitafsir, serta tidak adanya sanksi yang
tegas atas pelanggaran dan substansi yang tidak definitif dari UU yang berlaku.
“Pembahasan raperda ketenagakerjaan jangan dilakukan
secara gegabah dan tergesa-gesa. Seluruh stakeholder ketenagakerjaan harus
dilibatkan secara proporsional dan diberi waktu yang cukup untuk melakukan
kajian terhadap pasal-pasalnya,” pungkas Deman. (jul).
ULASAN
Kasus ini mengulas mengenai aksi protes yang dilakukan
parah buruh di Kalimantan Barat. Aksi tersebut dilakukan karena mereka ingin
mencabut tuntutan Ketua Kadin mengenai pernyataannya tentang pemutusan hubungan
kerja (PHK) terhadap ribuan buruh-buruh pertambangan. Selain itu juga, para
demosntran menginginkan pembubaran serikat buruh diberhentikan.
Berdasarkan kasus tersebut menunjukkan bahwa para
pekerja tersebut (buruh) mengalami stres sehingga mengekspresikannya dalam
bentuk demonstrasi seperti itu. Stres itu sendiri merupakan ketidakmampuan
mengatasi ancaman yang dihadapi oleh mental, fisik, emosional dan spiritual
manusia. Stres juga dapat diartikan sebagai suatu prsepsi terhadap situasi atau
kondisi fisik lingkungan sekitar (Palupi 2003).
Penyebab dilakukannya tindakan anarkis tersebut
berdampak psikologis, yakni berdasarkan salah satu teori dasar motivasi
hierarki kebutuhan oleh Abraham Masslow yakni yang merupakan teori motivasi
yang terdiri dari 5 macam kebutuhan diantaranya fisiologis, keamanan, sosial,
penghargaan dan aktualisasi diri. (Masslow, 1993). Akibat pemutusan hubungan
kerja tersebut, para pekerja tidak dapat memenuhi 5 kebutuhan dasar tersebut,
salah satunya kebutuhan fisiologi yakni berupa kebutuhan pangan, sandang dan
papan. Dengan diberhentikannya mereka, membuat para pekerja tidak dapat memperoleh
uang untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut. Selain itu, juga kebutuhan
akan penghargaan juga tidak dapat terpenuhi, karena pekerjaan yang mereka
lakukan tidak dihargai dengan diberhentikannya mereka secara sepihak. Kasus ini
juga dapat dikaitkan berdasarkan teori Herzberg, yang merupakan teori dua
faktor yakni para pekerja dalam melakukan pekerjaannya dipengaruhi oleh dua
faktor utama diantaranya adalah faktor pemeliharaan dan faktor motivasi (Umar,
1999). Kasus ini lebih condong ke dalam faktor motivasi, karena para buruh
tersebut tidak lagi mendapatkan kebijakan yang baik dari perusahaan melainkan
mereka mendapatkan kebijakan yang tidak adil yakni PHK.
Solusi untuk menaggulangi permasalah ini adalah dengan
mendengarkan aspirasi dari para pekerja (buruh) mengenai kepuasan kerja mereka.
Memperjuangkan hak mereka dan bagi para pejabat agar tidak mementingan
kepentingan sendiri, utamakan kepentingan bersama agar segala sesuatunya
berjalan lancar dan tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dan tidak ada
pihak yang merasa dirugikan. Seperti halnya dalam pengertian motivasi menurut
Manullang (2000) yang mendifinisikan bahwasanya motivasi dijadikan sebagai
pekerjaan bagi para manajer dalam memberikan inspirasi, dorongan, semangat
kepada orang lain dalam hal ini adalah para buruh. Sehingga dengan kerja sama
dalam memebrikan dukungan satu sama lain akan terbina persatuan untuk memajukan
perusahaan.
Sumber :
Diunduh tanggal 18 juni 2012 jam 06.30 oleh : Syamsul
Arifin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar